Saturday, December 11, 2010

Kal Ho Naa Ho..

Saat ini aku sedang menikmati waktuku sendirian dengan menonton DVD video clips kompilasi dari beberapa film Bollywood. Salah satu lagu yang paling aku sukai di dalam kompilasi ini adalah lagu berjudul Kal Ho Naa Ho. Aku merasa yakin bahwa walaupun tidak sepenuhnya mengerti artinya, pasti orang yang mendengarnya bisa menangkap keindahan dalam lagu tersebut.

Karena penasaran, dulu aku pernah mencari terjemahannya. Aku menemukan empat baris bait pertamanya yang terjemahannya seperti ini:

Life changes its beauty all the time
Sometimes it's a shade, sometimes life is sunlight
Live every moment here to your heart's content
The time that is here may not be there tomorrow


Keindahan hidup itu sesuatu yang bergerak, berubah, dan mengalir. Maka pesan terindah dari lagu ini adalah, hidup dalam setiap saat sepenuhnya, karena saat ini mungkin tidak terulang lagi...Buatku ini adalah salah satu pesan terindah kepada siapa pun, karena kita sering lupa dengan kenyataan yang adalah sekarang, selalu dibayangi masa lalu dan dihantui ketakutan akan masa depan...

Tetapi walaupun indah, lagu ini buatku menjadi seperti bagian yang terpisah dari keseluruhan cerita filmnya. Mengapa demikian? Sederhana saja. Seindah-indahnya pun lagu itu, aku tidak setuju sama sekali dengan apa yang dilakukan tokoh utama dari film di mana lagu ini menjadi salah satu andalannya. Ceritanya demikian. Seorang pria mencintai seorang gadis. Pria ini sakit parah dan kemungkinan akan segera mencapai ajal. Karena itu si pria ini berusaha dengan segala cara supaya si gadis yang ia cintai itu bisa menikah dengan pria lain sahabatnya agar si gadis tidak PERLU MENGHADAPI PENDERITAAN nantinya karena harus kehilangan dirinya karena kematian. Bayangkan! Dan itu disebut dan diterjemahkan banyak orang sebagai cinta...

Rasanya kalau sepintas pasti sepertinya pria ini mencoba menjadi pahlawan. Dan menurutku, betul, pahlawan yang bodoh. Dunia dipenuhi cerita khayal seperti ini bahwa seseorang mesti mengorbankan perasaannya sendiri dan keinginannya sendiri demi orang lain. Itu baru dibilang baik. Itu baru dibilang cinta. Itu baru dibilang berjasa dan perkasa. Tetapi buatku cerita semacam itu adalah omong kosong. Bagaimana seseorang yang merasa tidak bahagia bisa membahagiakan orang lain? Bagaimana seseorang yang tidak merasa puas bisa memuaskan orang lain? Tanggung jawab seseorang pertama-tama adalah untuk dirinya sendiri. Kalau ia bisa hidup dengan kepenuhan jiwa, maka tanpa sadar, secara alamiah, karena api keindahan menyala-nyala dalam dirinya, pasti ia akan bisa membawa keindahan buat orang lain. PASTI. Sekali lagi: PASTI. Aku sudah mengalaminya sendiri...

Sejak kecil kita dididik oleh sebuah ilusi bahwa kita mesti mengorbankan diri sendiri demi orang lain, baru kita patut disebut mulia. Kita mesti berkorban demi bangsa dan negara, demi teman, demi orang tua, demi keluarga. Tetapi pengorbanan macam apa itu? Rasa sesak? Rasa sakit? Rasa terpaksa dan terkekang? Rasa diperbudak dan dikuasai? Rasa takut nantinya menyesal kalau tidak berbuat sesuai dengan apa yang orang lain inginkan? Kalau memang itu namanya cinta, bukankah kita akan memberi dengan suka cita, melakukan dengan ikhlas, mencintai tanpa syarat? Bukankah cinta yang murni adalah rasa bebas tiada tara, keluasan tanpa batas, kedalaman tanpa dasar? Tidak sesak? Tidak sakit? Tidak menderita? Tidak terpaksa? Tidak takut atau pun khawatir?

Apakah kita mau terus-menerus menjadi seperti boneka yang tidak tahu bagaimana caranya hidup dikarenakan kepercayaan-kepercayaan bodoh semacam ini? Bukankah kita tersandera oleh emosi dan kehidupan orang lain, entah teman, keluarga, orang tua, organisasi, bangsa dan negara, seakan-akan kita bertanggung jawab akan perasaan, kehidupan, kebahagiaan, dan keberadaan orang lain? Bukankah itu kesombongan terselubung yang terpuaskan oleh rasa sakit (atau rasa puas) yang muncul karena merasa sudah berkorban demi orang lain? Bukankah itu seperti usaha mencapai impian menjadi pahlawan? Dan aku dulu adalah salah satu korban dari impian-impian semacam itu...

Maka aku sudah putuskan beberapa tahun yang lalu bahwa lebih baik TIDAK MENJADI PAHWALAN BAGI SIAPA PUN DI DUNIA INI daripada mesti hidup dengan cara demikian. Aku pun menulis ini dengan seulas senyum di bibirku karena geli dengan kebodohanku sendiri yang kupelihara bertahun-tahun sedemikian rupa. Jika Anda merasa bahwa apa yang aku tulis masuk akal, silahkan dipikirkan dan direnungkan. Jika tidak setuju, bagus, itu berarti Anda memiliki pendapat pribadi. Jika tidak peduli pada isinya, yah.....aku menulis untuk diriku sendiri. Kalau Anda kecipratan, ya syukur, jika tidak, ya sudah. Aku tetap bahagia. :-)

Depok, 20 Oktober 2010

Kutulis untuk Kanda-ku, semoga suatu hari kedamaian hati itu datang...

No comments:

Post a Comment