Wednesday, December 22, 2010

BICARA TENTANG IBU...

Hari ini Hari Ibu. Berarti entah kapan sekelompok orang sepakat untuk memberikan penghargaan yang tinggi kepada Para Ibu di mana pun Si Ibu berada. Buatku sendiri, simbol-simbol termasuk hari istimewa sudah lama tidak memberikan arti khusus, karena yang lebih nyata dan berarti adalah sikap dan apa yang kita lakukan sehari-hari. Tetapi aku menulis bukan untuk memperdebatkan hal ini, melainkan tentang sesuatu hal yang aku pikir sangat penting untuk dibagikan apa yang aku pahami tentang ibu, paling tidak yang aku yakini.

Mama atau Emak, itu Ibu buatku. Di telingaku konotasinya Emak berbeda dengan Ibu. Ibu seperti simbol buat gambaran tradisional perempuan yang sudah menikah dan punya anak: seseorang yang pandai masak, sabar (disabar-sabarin atau benar-benar sabar dari dalam?), dan pengasuh dari anak-anaknya. Yang di kepalaku Ibu yang sebenarnya adalah kata Emak: seorang perempuan luar biasa karena ia bijaksana, penuh kasih sayang, pemimpin yang handal, dan pekerja keras. Bisa dibilang Emaklah yang menginspirasiku untuk tidak pernah menyerah dan untuk mampu mengorganisasi berbagai macam hal.

Salah satu hal yang selalu aku syukuri yang Emak wariskan kepadaku adalah sifat Beliau yang jika sudah yakin akan sesuatu, tidak mudah untuk digoyahkan. Dan apa pun kata orang lain, Emak tidak peduli, selama yakin yang dilakukan adalah benar, Emak maju terus. Tetapi karakter ini, yang diwarisi kepada kami bertiga bersaudara adalah hal yang juga membuat Emak selalu repot. Kami bertiga bersaudara anak-anak Emak sudah terbiasa tidak bisa menerima pendapat orang lain begitu saja termasuk dari Emak jika alasannya tidak benar-benar kuat dan masuk akal.

Dan sikap ini dimulai karena Emak sejak dini sudah mengajak kami berdialog. Jika mau membeli sesuatu, Emak bertanya, "Untuk apa? Apa kamu benar-benar butuh?". Makanya kami terbiasa sekeluarga untuk membelanjakan sesuatu jika butuh. Jika ingin melakukan keputusan besar, Emak bertanya,"Apakah kamu yakin?" dan sejak remaja Emak sudah mengatakan ini kalau berbeda pendapat,"Menurut Mama sih begini. Menurut Mama loh. Kalau Elda pikir baik, lakukan saja." Tetapi untuk hal-hal yang substansial, Emak juga bisa sangat tegas.

Emak sejak kecil sudah menanamkan bahwa rincian-rincian tidak penting yang sering dianggap penting oleh orang di sekitar (nilai di rapor, prestasi, materi atau uang, status dan poisis) adalah benar-benar tidak penting. Sekali lagi: Benar-benar tidak penting. Yang diutamakan dalam hidup adalah kebijaksanaan dan kasih sayang. Dan hebatnya Emak, Beliau tidak menanamkannya dengan nasehat berpanjang-panjang seperti kebiasaan banyak orang tua di Indonesia (apalagi orang tua Batak yang hobi bicara tapi jarang mau berpikir dan merenung ;-P), tetapi dengan cerita; dengan menceritakan dongeng ala Batak yang didapat dari Kakekku (ayah Emak) dan mengajak kami sejak kecil merenung dan mengambil keputusan sendiri.

Waktu kecil aku sering heran melihat teman-temanku yang disuruh belajar atau dipaksa untuk masuk sekolah. Sejak kecil Emak selalu bilang, "Sekolah kan buat kalian sendiri, bukan buat Mama". Tidak pernah Emak memeriksa apakah aku sudah bikin PR atau nilai ujianku berapa. Bapakku pun bersikap seperti itu. Bahkan ketika aku terlalu serius belajar, Emakku malah mengganggu dan bilang, "Yuk, main-main yuk, main kartu (Remi) atau main halma" atau , "Sini ngobrol sama Mama". Suatu hari Emakku malah menyuruhku bolos dari sekolah supaya kami bisa jalan-jalan bersama. Belakangan aku tahu bahwa memang Emakku bijak mengajakku untuk break, karena Beliau sendiri sangat rajin belajar dan pada suatu titik menyadari, bahwa keseimbangan dalam hidup juga penting.

Apakah warisan Emakku yang paling berharga? Kebebasan. Itu dia.

Emakku bercerita bahwa hingga berusia 15 tahun, Beliau merasa hidupnya sangat bahagia karena bebas. Dan cara mendidik Kakekku pun mirip-mirip seperti yang dilakukan Emakku. "Manusia besar karena kasih sayang", kata Emakku waktu aku kecil. Dan Emak juga cerita "Ompungmu (=Kakekmu) dulu tidak pernah melarang, tetapi mengajak berpikir". Emakku anak yang super rajin belajar, rajin bekerja, berjiwa bebas, dan melakukan segala sesuatu karena Beliau suka, bukan karena diperintah. Dan inilah yang Emak coba terapkan kepada kami.

Sepertinya Emak berprinsip, untuk menjadi dewasa, seseorang harus berani mengambil keputusan-keputusan besar, dan berani menanggung konsekuensinya. Tidak karena dipaksa-paksa dan disuruh-suruh. Untuk itu diperlukan jiwa yang bebas. Hanya yang berjiwa bebas mampu jadi pemimpin, karena kalau tidak berjiwa bebas ia akan diperbudak oleh (pendapat, pemikiran, sikap) orang lain. Dengan demikian seseorang mestinya sudah dirangsang untuk berjiwa pemimpin sejak dini. Dan penjaga alamiah bahwa keputusan akan diambil atas dasar pertimbangan yang benar, adalah hati. Kasih sayang. Manusia yang besar dengan kasih sayang memiliki sinyal-sinyal di dalam hatinya dan kemampuan untuk merasakan bahwa keputusan yang diambil adalah benar. Sisanya yang mungkin dianggap penting oleh orang lain: prestasi, status, kekayaan, hanyalah pernak-pernik kehidupan yang tidak memberikan apa-apa kepada jiwa manusia.

Aku bebas, tidak dikekang, karena Emakku (dan Bapakku juga sebenarnya, tapi ini bukan hari Bapak jadi cerita Bapakku ditunda dulu) telah memperlakukanku sebagai manusia utuh sejak aku kecil. Aku dianggap seseorang yang berdaulat atas diri sendiri sejak dini. Perasaan dan pertimbanganku dihargai. Maka aku pun dengan alamiah menghargai perasaan dan pertimbangan orang lain. Aku menghormati keputusan-keputusan orang lain. Juga karena biasa dirangsang untuk berpikir sendiri, maka aku pun membebaskan orang lain untuk bersikap dan berpikir sendiri.

Banyak mungkin yang bingung, dan tidak setuju dengan cara ini karena menganggap bahwa anak mesti 'diatur' supaya bisa berperilaku benar. Diatur? Bukankah sangat indah jika si anak mampu melakukan sesuatu karena kesadaran, bukan karena diatur? Sampai kapan para orang tua ingin anak-anak mereka terus tergantung pada diri mereka untuk keputusan-keputusan penting dalam hidup? Orang tua (biasanya) akan duluan berlalu, dan lebih tinggi kemungkinan anak-anak yang akan tinggal untuk menjejakkan kaki dan menjelajah di bumi ini. Apakah bijak sebagai orang tua meninggalkan anak-anaknya tanpa memiliki jiwa nahkoda di dalam diri mereka? Terkatung-katung di samudera kehidupan, terseret-seret oleh arus dunia, terombang-ambing oleh beribu macam pendapat? Tidak mampu mengambil SATU PUN keputusan PENTING dan BESAR dalam hidupnya dan BERANI menanggung risikonya?

Aku tahu Emakku tidak sempurna. Benar-benar sadar akan hal ini. Keluargaku pun memiliki masalah-masalah sendiri yang unik dan sangat sangat sulit. Tetapi satu hal aku yakini, dan tentang ini aku tidak goyah sama sekali. Manusia besar karena cinta kasih dan kebijaksanaan. Cinta kasih adalah kebebasan dan kepercayaan. Jiwa yang bebas adalah jiwa yang bermartabat. Dan untuk hidup, itu adalah dasar segalanya. Dan Emakku adalah seorang Guru yang telah mewariskan hal ini. Sisanya, bahwa Emakku (kebetulan) pandai masak, bisa merawat anak-anak dengan baik, adalah hal-hal rinci tidak penting. Seperti kata Emakku, "Ah, kalau ada niat semua kan bisa dipelajari". Tetapi jiwa yang sudah rusak sulit untuk bisa diperbaiki...dan konsekuensi dari sikap, keputusan, dan perilaku dari orang-orang yang berjiwa rusak ini yang mesti ditanggung oleh sekelilingnya, dan terkadang sampai berabad-abad lamanya jika mereka menjadi pemimpin suatu organisasi agama yang besar maupun jadi pemimpin bangsa....Jadi, mau pilih yang mana?

Untuk EMAK-ku: Dame Sihombing

The more I tell your story, the more amazed I feel. You are wonderful: a professor (wiser than many scholars) without a title, a queen (a true leader) without a position, a great best friend one can ever have, and much more: a human being with a big heart and wonderful love...

Dan untuk Romo Mangun yang peduli akan pendidikan anak, semua orang tua yang berani mendidik dalam kebebasan*

*Salut untuk temanku yang Pemberani, angkatan 1995 FEUI Mimi (Tanti) dan Momo (Eko Eyang) yang mendidik anak dalam kebebasan. Eyang, tulisan ini juga adalah untuk menjawab kata-katamu "Kok ucapan selamat lu lain sendiri sih Da?" atas ucapan selamatku "Semoga tumbuh menjadi anak yang bahagia dan penuh kasih sayang" kepada Mudin yang baru jadi Bapak ...

Depok, 12 Desember 2010, 09:43 WIB. 

Saturday, December 11, 2010

Kal Ho Naa Ho..

Saat ini aku sedang menikmati waktuku sendirian dengan menonton DVD video clips kompilasi dari beberapa film Bollywood. Salah satu lagu yang paling aku sukai di dalam kompilasi ini adalah lagu berjudul Kal Ho Naa Ho. Aku merasa yakin bahwa walaupun tidak sepenuhnya mengerti artinya, pasti orang yang mendengarnya bisa menangkap keindahan dalam lagu tersebut.

Karena penasaran, dulu aku pernah mencari terjemahannya. Aku menemukan empat baris bait pertamanya yang terjemahannya seperti ini:

Life changes its beauty all the time
Sometimes it's a shade, sometimes life is sunlight
Live every moment here to your heart's content
The time that is here may not be there tomorrow


Keindahan hidup itu sesuatu yang bergerak, berubah, dan mengalir. Maka pesan terindah dari lagu ini adalah, hidup dalam setiap saat sepenuhnya, karena saat ini mungkin tidak terulang lagi...Buatku ini adalah salah satu pesan terindah kepada siapa pun, karena kita sering lupa dengan kenyataan yang adalah sekarang, selalu dibayangi masa lalu dan dihantui ketakutan akan masa depan...

Tetapi walaupun indah, lagu ini buatku menjadi seperti bagian yang terpisah dari keseluruhan cerita filmnya. Mengapa demikian? Sederhana saja. Seindah-indahnya pun lagu itu, aku tidak setuju sama sekali dengan apa yang dilakukan tokoh utama dari film di mana lagu ini menjadi salah satu andalannya. Ceritanya demikian. Seorang pria mencintai seorang gadis. Pria ini sakit parah dan kemungkinan akan segera mencapai ajal. Karena itu si pria ini berusaha dengan segala cara supaya si gadis yang ia cintai itu bisa menikah dengan pria lain sahabatnya agar si gadis tidak PERLU MENGHADAPI PENDERITAAN nantinya karena harus kehilangan dirinya karena kematian. Bayangkan! Dan itu disebut dan diterjemahkan banyak orang sebagai cinta...

Rasanya kalau sepintas pasti sepertinya pria ini mencoba menjadi pahlawan. Dan menurutku, betul, pahlawan yang bodoh. Dunia dipenuhi cerita khayal seperti ini bahwa seseorang mesti mengorbankan perasaannya sendiri dan keinginannya sendiri demi orang lain. Itu baru dibilang baik. Itu baru dibilang cinta. Itu baru dibilang berjasa dan perkasa. Tetapi buatku cerita semacam itu adalah omong kosong. Bagaimana seseorang yang merasa tidak bahagia bisa membahagiakan orang lain? Bagaimana seseorang yang tidak merasa puas bisa memuaskan orang lain? Tanggung jawab seseorang pertama-tama adalah untuk dirinya sendiri. Kalau ia bisa hidup dengan kepenuhan jiwa, maka tanpa sadar, secara alamiah, karena api keindahan menyala-nyala dalam dirinya, pasti ia akan bisa membawa keindahan buat orang lain. PASTI. Sekali lagi: PASTI. Aku sudah mengalaminya sendiri...

Sejak kecil kita dididik oleh sebuah ilusi bahwa kita mesti mengorbankan diri sendiri demi orang lain, baru kita patut disebut mulia. Kita mesti berkorban demi bangsa dan negara, demi teman, demi orang tua, demi keluarga. Tetapi pengorbanan macam apa itu? Rasa sesak? Rasa sakit? Rasa terpaksa dan terkekang? Rasa diperbudak dan dikuasai? Rasa takut nantinya menyesal kalau tidak berbuat sesuai dengan apa yang orang lain inginkan? Kalau memang itu namanya cinta, bukankah kita akan memberi dengan suka cita, melakukan dengan ikhlas, mencintai tanpa syarat? Bukankah cinta yang murni adalah rasa bebas tiada tara, keluasan tanpa batas, kedalaman tanpa dasar? Tidak sesak? Tidak sakit? Tidak menderita? Tidak terpaksa? Tidak takut atau pun khawatir?

Apakah kita mau terus-menerus menjadi seperti boneka yang tidak tahu bagaimana caranya hidup dikarenakan kepercayaan-kepercayaan bodoh semacam ini? Bukankah kita tersandera oleh emosi dan kehidupan orang lain, entah teman, keluarga, orang tua, organisasi, bangsa dan negara, seakan-akan kita bertanggung jawab akan perasaan, kehidupan, kebahagiaan, dan keberadaan orang lain? Bukankah itu kesombongan terselubung yang terpuaskan oleh rasa sakit (atau rasa puas) yang muncul karena merasa sudah berkorban demi orang lain? Bukankah itu seperti usaha mencapai impian menjadi pahlawan? Dan aku dulu adalah salah satu korban dari impian-impian semacam itu...

Maka aku sudah putuskan beberapa tahun yang lalu bahwa lebih baik TIDAK MENJADI PAHWALAN BAGI SIAPA PUN DI DUNIA INI daripada mesti hidup dengan cara demikian. Aku pun menulis ini dengan seulas senyum di bibirku karena geli dengan kebodohanku sendiri yang kupelihara bertahun-tahun sedemikian rupa. Jika Anda merasa bahwa apa yang aku tulis masuk akal, silahkan dipikirkan dan direnungkan. Jika tidak setuju, bagus, itu berarti Anda memiliki pendapat pribadi. Jika tidak peduli pada isinya, yah.....aku menulis untuk diriku sendiri. Kalau Anda kecipratan, ya syukur, jika tidak, ya sudah. Aku tetap bahagia. :-)

Depok, 20 Oktober 2010

Kutulis untuk Kanda-ku, semoga suatu hari kedamaian hati itu datang...