Sunday, November 22, 2009

Ketika Hampir Merekah...

Ketika aku hampir merekah

Aku berbunga indah

Seorang lelaki tua datang

Merusak seluruh kuntum

Dan mengambil jiwaku,

Ya! Dia mengambil jiwaku…

Seorang tukang kebun

Berdiri di dekatku

Menawarkan tiga jenis bunga

Yang jingga, nila, atau mawar merah

Aku tolak semuanya,

Ya! Aku tolak semuanya…

Di bulan itu

Mawar merah merekah

Tetapi bukan untukku

Kucabut semua mawar dari taman itu

Kuganti dengan semak berduri,

Ya! Kuganti dengan semak berduri...

Jika aku mau

Menanti dalam waktu

Tuhan pasti merahmatiku

Dan aku akan menangis

Semangkuk butir bening air mata

Untuk mencuci

Jejak-jejak luka

Ya, untuk mencuci

Jejak-jejak luka...

Cikarang, 22 November 2009, 21:19 WIB

Terinspirasi oleh lagu 'When I was in my prime'

Sekuntum bunga wangi dan indah bisa untuk dipandang, dikagumi, disentuh, dihirup wanginya, dipetik, dirangkai, dan ditaruh di dalam rumah….Tetapi ternyata sekuntum bunga malahan memberikan bekas paling lama, di tangan yang meremas untuk menghancurkannya..

Tuesday, November 10, 2009

Hari ini aku bertemu Pahlawan….*


Hari ini aku bertemu Pahlawan….

Tidak, namanya tidak tercantum di surat kabar
Tidak, pangkat militernya tidak ada
Tidak, gelarnya pun tidak tinggi
Tidak, kekuasaannya tidak besar
Tidak, dia tidak pernah memberi makan beratus-ratus fakir miskin

Dia, seorang Guru..
Guru Sekolah Dasar
Posisi tidak terpandang,
Pahlawan yang terlupakan...

Tetapi keberadaannya
Telah memberi kesan
Mendalam...
Setidaknya, buatku

Dan mataku pun terbuka
Untuk melihat
Apa artinya
Untuk mendengar
Apa maknanya
Untuk mengecap
Apa rasanya...

Tepat hari ini,

Tepat Hari Pahlawan!


Untuk Pak Hussein,
Cikarang, 10 November 2009, 21:00 WIB
Elda Pardede

*Hari ini T. M. A. , A. S., dan Luciana bertemu dengannya

Wednesday, November 4, 2009

NAMAKU, RAKYAT INDONESIA*

Namaku, RAKYAT INDONESIA
Hidup di antara butir-butir kekosongan jiwa
Hampa. Mengeluh.

Ketika waktu bagai jarum menusuk raga.
Menangis. Pedih.

Suara malaikat, suara-suara malaikat,
Tak terdengar...
Teriak basi. Gurauan mimpi.

Dingin di tengkuk, panas di dada.
Semua seakan pecah di kepala..
Sebentar lagi. SEBENTAR LAGI.
Sabarlah!

KAISAR akan MATI. Kekelaman pergi.
Tapi DARAH sudah terlanjur mengalir.
Semua jiwa bangsa jadi SAMPAH...
Daur ulang, butuh setengah abad lagi.

(Tapi aku berpisah kini.
Dari deru hingar bingar di sekeliling...)

Sebentar lagi, ya, SEBENTAR LAGI...

*Ditulis ketika mengawas ujian Magister Akuntantsi di FEUI Salemba, malam hari, bersama Ihut Murni dan Mutiara Febriana, 27 April 1998, sebulan sebelum jatuhnya SOEHARTO...

Dipublikasikan SEKARANG, karena mencoba mengingatkan diri sendiri, mengapa dulu SOEHARTO dijatuhkan....
Apakah perjuangan itu sudah terhenti?
Haruskah menunggu setengah abad lagi?