Wednesday, December 30, 2009

PULANGLAH, KAKEK*


Pulanglah, Kakek, pulanglah
Pulanglah ke tempat di mana kau semestinya
Di Ciganjur
Bersandal jepit
Beruntaikan sarung
Bersandar di sisi meja
Berdupakan aroma kebebasan

Kau tak mampu hidup di istana
Istana penuh dengan kemunafikan
Kau tak sanggup tidur di istana
Istana penuh tipu daya
Kau tak ‘kan bisa diam di istana
Istana penuh nista

Pulanglah, Kakek, pulanglah
Jangan pedulikan cucu-cucumu yang bodoh itu
Tak pahami keluasan pikiranmu
Tak mengerti kedalaman kebijakanmu
Tak menangkap pengajaranmu
Tak mendengar dongengan indah pengantar tidurmu

Pulanglah, Kakek, pulanglah
Cukup sudah kau dihina
Setelah sebelumnya dipuja-puja
Dan disanjung bagaikan raja
Setelah sebelumnya dirangkul-rangkul
Dan dipatuhi bak panglima

Pulanglah, Kakek, pulanglah
Aku tak rela kau digiring para penjagal
Aku tak sudi kau dilalap api kebencian
Aku tak mau kau dirajam batu kebodohan

Pulanglah, Kakek, pulanglah
Tatap kami dari jauh
Doakan kami dengan sungguh
Dalam linangan air mata, demi bangsamu

Dedicated to Gus Dur, our Semar….


Depok, 29 Juli 2001, 22.45 WIB


*Tulisan ini dibagikan dalam rangka turut berduka cita atas wafatnya K.H. Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia ke-4. Seperti status saya di Facebook yang didedikasikan buat Gus Dur:


"Presiden paling nyleneh sedunia, tak ada duanya. Tidak takut pada siapa-siapa, karena jiwanya bebas! Gus Dur, seorang Kristen Yahudi yang Muslim, paling tidak di mata saya...(Secara tiga-tiganya berasal dari akar yang sama, mengapa bertengkar terus?)."

Memberi lebih baik daripada menerima?

Katanya, memberi lebih baik daripada menerima. Dulu aku setuju dengan pernyataan itu, tetapi sekarang rasa-rasanya hal tersebut adalah kesombongan dalam bentuk yang halus dan terselubung. Pernyataan ini tanpa sadar membuat orang-orang yang memberi merasa berada di posisi yang lebih tinggi daripada yang menerima. Yang menerima pun cenderung dipandang sebagai orang yang lebih lemah. Maka yang memberi biasanya menjadi bangga akan diri sendiri, dan yang menerima merasa wajib berterima kasih dan membalas budi. Tidak ada yang indah jika hal seperti ini terjadi, karena yang memberi kehilangan rasa kesetaraan dengan si penerima, dan yang menerima pun tidak lagi merasa layak menjadi sesama bagi si pemberi.

Jika kita hidup dengan menghayati pernyataan ‘memberi lebih baik daripada menerima’, maka tanpa sadar hal itu telah membuat kita canggung untuk menerima kasih karunia. Kita menjadi kesulitan menerima cinta kasih Allah. Ketika Allah bilang, “Cinta kasih-Ku padamu gratis, Honey!!” kita cenderung tidak percaya dan menyanggah: “Mengapa aku diberikan cinta-Mu Allah? Pake panggil aku Honey segala? Padahal jelas-jelas aku bukan hasil produksi lebah?” (Eh, ngaco, maap!!) Rupanya ketika Allah memberi, karena tugas kita hanya tinggal ‘menerima’, kita merasa helpless atau tak berdaya dan berada pada posisi yang inferior, sehingga kita merasa tidak enak, dan kemudian bertanya-tanya: Apa yang telah kulakukan sehingga aku pantas menerimanya?

God’s love is a gift...Hadiah cuma-cuma! Tetapi tetap saja, berapa banyak dari kita yang tanpa sadar telah terseret tetap merasa ‘wajib’ melakukan berbagai macam ‘aktivitas’ agar menyenangkan hati Allah dan untuk memperoleh cinta kasih Allah? Dan berapa banyak dari kita, juga menjadi begitu takut menerima cinta dari Allah maupun dari orang lain karena merasa tidak layak?

Setelah merenungkan hal ini, aku merasa bahwa ternyata yang lebih kita butuhkan adalah seni ‘menerima’, bukan bagaimana memberi. Orang selalu senang jadi hero (catatan: bukan nama sebuah pasar swalayan di Jakarta yang telah berubah menjadi Giant) atau pahlawan, pemberi, yang mengasihani orang lain. Posisi yang gampang karena membuat kita merasa sudah berbuat sesuatu demi orang lain. Tetapi ternyata ketika pada suatu saat karena situasi tertentu kita harus kehilangan kemampuan untuk memberi, kita menjadi frustasi, kehilangan harga diri, dan dengan demikian kehilangan kebahagiaan.

Ada contoh yang sangat sederhana untuk membuktikan hal ini. Coba kita amati sejenak, berapa banyak para Ayah yang pada umumnya pencari nafkah merasa dirinya tidak berarti lagi ketika sudah pensiun dan berpenghasilan lebih rendah daripada sebelumnya? Berapa banyak para Ibu yang merasa dirinya tidak berguna lagi ketika semua anaknya sudah dewasa dan tidak bergantung pada dirinya lagi sehingga ia merasa tidak dibutuhkan? Bukankah tanpa sadar kita menilai diri kita dari apa yang bisa kita lakukan, kerjakan, hasilkan, dan bukan dari siapa sebenarnya diri kita yang sejati yang diciptakan Tuhan? Dan dengan demikian kita pun menilai sesama kita dengan cara seperti itu dengan tanpa sadar menyatakan di dalam hati kita: Wahai, Kawan, engkau berarti jika engkau ‘berguna’, berkontribusi, dan bermanfaat! Bukan karena apa adanya Engkau yang telah diciptakan dengan indah oleh Tuhan. Sebelum kita menapaki masa di mana kita kehilangan kemampuan untuk memberi, mungkin kita memang perlu belajar bagaimana caranya menerima perhatian, cinta, pemberian, pertolongan, dari orang lain dengan tulus dan terbuka sepenuhnya, 100%!! Dan kita perlu belajar untuk tidak lagi mengukur diri kita hanya dari apa yang bisa kita berikan buat orang lain.

Mungkin pula karena itulah bayi Yesus yang tak berdaya itu menjadi sesuatu yang sulit diterima sebagai Pemberian Allah yang Terindah. Seorang bayi? Dia bisa apa? Cuma bisa menangis dan membutuhkan perlindungan, perawatan, dan perhatian. Itulah masalahnya. Karena memandang diri kita lebih (…dewasa, kuat, mampu, dibutuhkan) daripada seorang bayi, kita pun tidak lagi memiliki kepekaan untuk menerima cinta kasih murni darinya.

Seorang bayi memang butuh perlindungan, tetapi jika hati kita terbuka, ternyata seorang bayi pun berperan besar dalam melindungi hati kita. Dia mengingatkan dan menumbuhkan kemurnian dan ketulusan cinta kasih yang ada dalam diri kita ketika kita lahir, sehingga hati kita menjadi hangat ketika memandang dan menggendongnya. Dan tentu saja, semoga, kehangatan yang kita rasakan ketika melihat seorang bayi terus hidup di dalam hati kita sehingga keseluruhan diri kita sampai sel-sel yang terkecil dalam tubuh kita, dipenuhi cinta kasih yang murni! Apalagi buat kita yang menjadi pengikut Kristus, jika kita dapat merasakan bahwa kehangatan itu dipancarkan oleh seorang anak, bayi bernama Yesus…Betapa indahnya!! Mungkin karena itulah Yesus berkata,”… sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat 18:3b).

Kehangatan cinta seperti itu pun akan membuat memberi dan menerima menjadi sesuatu yang tulus dan murni. Memberi tidak lagi karena ingin posisi lebih, dan menerima pun tidak lagi mengakibatkan rasa inferior, tetapi keduanya membuat hati kita dipenuhi rasa syukur dan suka cita kepada Allah. Maka pada akhirnya memberi menjadi sama indahnya dengan menerima.

*Seperti dalam satu lagu The Beatles di dalam album musik mereka Abbey Road, “And in the end, the love you take is equal to the love you make....”

Selamat Hari Natal!!

Cikarang, 6 December 2008 22:40

*Bagian akhir tulisan ini mengenai lagu dari The Beatles boleh diabaikan, cuma selipan iseng yang menampilkan kesukaanku terhadap mereka…hehehe….. Tetapi kalau terinspirasi silahkan juga sih, nggak dilarang, mungkin bisa ikut-ikutan jadi Beatlemania (!?)