Saturday, May 29, 2010

Penyembuhan, bukan pembalasan…*

Kemarin, Jum’at 28 Mei 2010 adalah waktu yang istimewa buat umat Buddha yang merayakan lahirnya Siddharta Gautama. Saya pribadi sangat menghormati pribadi Siddharta. Sewaktu pertama kali membaca kisah hidupnya, saya bertanya-tanya: “Apa yang terjadi dalam hati dan pikiran Siddharta, yang membuatnya mau meninggalkan segala sesuatu yang dicari dan dituju oleh kebanyakan manusia di dunia ini: Kemapanan, Kekuasaan, Kekayaan, Ketenaran?”

Apa yang terjadi di dalam hatinya??

Nabi Isa atau Yesus pernah mengisahkan bahwa Kerajaan Allah adalah seperti mutiara, yang membuat kita mau meninggalkan SEGALANYA demi mutiara tersebut (Matius 13:45-46). Mungkin itulah yang diperoleh Siddharta di hatinya di bawah pohon Bodhi, sebuah MUTIARA

Mutiara yang bernama cinta kasih, yang menghasilkan penyembuhan, bukan pembalasan…

Selamat Hari Raya Waisak….

============================================================
PENYEMBUHAN, BUKAN PEMBALASAN…

*Ditulis 12 Mei 2009, dimodifikasi 29 Mei 2010

Hari ini entah kenapa tiba-tiba wajah Gandhi (tepatnya wajah Ben Kingsley sebagai Gandhi yang saya lihat di film) sehabis ditembak muncul di benak saya. Seluruh pengalaman batinnya seperti datang dan menggema di hati dan di pikiran saya. Bagaimana perasaannya ketika dibunuh oleh salah seorang dari bangsanya sendiri yang jelas-jelas ia kasihi? Saya rasa sampai matinya pun ia memandang pembunuhnya dengan cinta dan pengertian. Walaupun, menurut saya, tetap ada rasa sedih. Sedih karena pembunuhnya yang ia cintai tidak mengerti bahwa ia mencintainya dan bagaimana ia hanya menginginkan kesejahteraan dan kebaikan buat Si Pembunuhnya. Sedih…

Saya teringat pula salah satu adegan dalam film Gandhi tersebut yang membuat saya menangis terharu, yang menggambarkan bagaimana Gandhi berjuang untuk penyembuhan, bukan pembalasan. Ada seorang pria Hindu bernama Nahari yang datang kepada Gandhi di kala konflik berdarah antara Hindu dan Muslim sedang terjadi yang menyebabkan India akhirnya terbagi menjadi India dan Pakistan:

Nahari: I'm going to Hell! I killed a child! I smashed his head against a wall.
Gandhi: Why?
Nahari: Because they killed my son! The Muslims killed my son!
Gandhi: I know a way out of Hell. Find a small boy, about this high, whose parents have been killed, and raise him as your own. But make sure he is Muslim, and raise him as one.

Nahari, seorang Hindu, dianjurkan Gandhi untuk membesarkan seorang anak Muslim sebagai Muslim, sebagai jalan penyembuhan dari luka di dalam dirinya karena konflik berdarah antar (penganut) agama yang menyebabkan anaknya yang Hindu dibunuh dan yang ia balas dengan membunuh seorang anak Muslim….


……Penyembuhan, bukan pembalasan…..

Berat, karena kita ingin aksi keras terhadap ketidakadilan, dan ingin merasa puas karena ada pihak yang dapat dipersalahkan dan ’dijagal’ untuk rasa marah dan kecewa yang kita rasakan. Anthony de Mello, seorang pastor Jesuit berkebangsaan India pernah berkata, ”Jika engkau ingin melakukan sesuatu, apa pun itu, janganlah lakukan untuk menghapuskan kemarahanmu, (kekecewaanmu, kesedihanmu, ketakutanmu, kekhawatiranmu, kegelisahanmu) tetapi lakukanlah dari hati yang penuh kedamaian”. Hati yang penuh kedamaian.


……Penyembuhan, bukan pembalasan…..

Bangsa kita butuh penyembuhan, bukan pembalasan. Pada zaman kolonial Belanda, politik yang diterapkan oleh pemerintah Belanda adalah membedakan etnis Tionghoa dengan yang lainnya. Budaya yang dirancang ini dilanjutkan di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dan terus terbawa-bawa hingga kini. Sewaktu zaman kepemimpinan Gus Dur, sepengamatan saya, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa ini adalah salah satu yang dicoba untuk di’lelehkan’. Terlepas dari apakah menurut Anda atau saya Gus Dur pemimpin yang baik atau tidak (tulisan ini bukan ditujukan untuk itu) yang dilakukan di sini adalah penyembuhan, bukan pembalasan. Rekonsiliasi...pemulihan...penyembuhan...bukan jagal-menjagal.


……Penyembuhan, bukan pembalasan…..

Gagasan yang sulit, karena kita selalu ingin menghukum orang yang melakukan kejahatan. Dan tanpa sadar hal itu sering (dan mungkin hampir selalu) kita lakukan hanya untuk memuaskan emosi kita. Kita ingin ’membunuh, menghajar, dan menghukum’ pembunuh, pemerkosa, dan pencuri seberat-beratnya agar hati kita puas, dan karena itu tanpa sadar kita juga telah melakukan kejahatan yang sama.

Tetapi lihatlah bagaimana sepanjang sejarah manusia kita selalu bersusah payah berjuang untuk merajut apa yang dengan mudahnya dirobek dan dicabik-cabik? Jika ada perbedaan pemikiran sedikit saja, kita (manusia) lalu dengan mudah mencap satu sama lain dengan label tertentu, menimbulkan konflik yang tidak perlu, dan bertengkar, berkelahi, dan di beberapa wilayah tertentu sampai saling membunuh dan menumpahkan darah....dan di sinilah terlihat bagaimana kita belum dewasa...benar-benar belum dewasa...


……Penyembuhan, bukan pembalasan…..

Nelson Mandela pernah sangat dikritik oleh beberapa orang kulit hitam di negaranya ketika menerapkan penyembuhan dan bukan pembalasan kepada orang-orang kulit putih yang menerapkan politik apartheid. Dia hanya menginginkan polisi atau tentara kulit putih yang pernah menganiaya orang kulit hitam mengaku bersalah (hanya mengaku!) di depan publik, dan mereka tidak akan diadili dan tidak akan menerima hukuman (dari Philip Yancey, Rumors of another world, 2003). Sudah. Titik. Banyak yang mungkin tidak mengerti bahwa Nelson Mandela ingin penyembuhan, bukan pembalasan. Banyak yang mungkin berpikir: Ini tidak adil!! Tetapi Nelson Mandela, yang pernah bertahun-tahun dipenjara itu, begitu yakin akan hal ini walaupun banyak yang mungkin tidak puas dengan apa yang ia lakukan. Dugaan saya, karena dia merasakan bagaimana bebasnya perasaannya tidak memiliki rasa balas dendam sedikit pun kepada yang memenjarakannya...


Sekali lagi: Penyembuhan, bukan pembalasan

Salah satu cerita yang paling indah dan menyentuh buat saya adalah apa yang saya kutip berikut ini dari Doa Sang Katak 2 (Anthony de Mello, hal. 105):

Pada suatu ketika, Buddha diancam akan dibunuh oleh seorang penjahat yang bernama Angulimal.

”Kalau demikian, saya minta engkau mengabulkan keinginan saya yang terakhir, ”kata Buddha. ”Potonglah dahan pohon itu.”

Satu tebasan pedang cukup untuk memotongnya! “Apa lagi?” kata penjahat itu.

”Kembalikan dahan itu ke pohonnya, ” kata Buddha.

Bandit itu tertawa, ”Engkau gila. Kaupikir ada orang yang dapat melakukan hal itu ?”

”Sebaliknya. Engkaulah yang gila. Engkau merasa diri berkuasa karena dapat melukai dan menghancurkan. Itu pekerjaan anak-anak. Orang yang sungguh berkuasa tahu cara menciptakan dan menyembuhkan.


Penyembuhan, bukan pembalasan...


Cikarang, Bekasi