Pulanglah, Kakek, pulanglah
Pulanglah ke tempat di mana kau semestinya
Di Ciganjur
Bersandal jepit
Beruntaikan sarung
Bersandar di sisi meja
Berdupakan aroma kebebasan
Kau tak mampu hidup di istana
Istana penuh dengan kemunafikan
Kau tak sanggup tidur di istana
Istana penuh tipu daya
Kau tak ‘kan bisa diam di istana
Istana penuh nista
Pulanglah, Kakek, pulanglah
Jangan pedulikan cucu-cucumu yang bodoh itu
Tak pahami keluasan pikiranmu
Tak mengerti kedalaman kebijakanmu
Tak menangkap pengajaranmu
Tak mendengar dongengan indah pengantar tidurmu
Pulanglah, Kakek, pulanglah
Cukup sudah kau dihina
Setelah sebelumnya dipuja-puja
Dan disanjung bagaikan raja
Setelah sebelumnya dirangkul-rangkul
Dan dipatuhi bak panglima
Pulanglah, Kakek, pulanglah
Aku tak rela kau digiring para penjagal
Aku tak sudi kau dilalap api kebencian
Aku tak mau kau dirajam batu kebodohan
Pulanglah, Kakek, pulanglah
Tatap kami dari jauh
Doakan kami dengan sungguh
Dalam linangan air mata, demi bangsamu
Dedicated to Gus Dur, our Semar….
Depok, 29 Juli 2001, 22.45 WIB
*Tulisan ini dibagikan dalam rangka turut berduka cita atas wafatnya K.H. Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia ke-4. Seperti status saya di Facebook yang didedikasikan buat Gus Dur:
"Presiden paling nyleneh sedunia, tak ada duanya. Tidak takut pada siapa-siapa, karena jiwanya bebas! Gus Dur, seorang Kristen Yahudi yang Muslim, paling tidak di mata saya...(Secara tiga-tiganya berasal dari akar yang sama, mengapa bertengkar terus?)."