JIKA AKU MATI
Jika aku mati
Biarlah aku telah mengecap
Gundah gulana seorang kekasih
Pemberontakan seorang anak
Kebahagiaan seorang perempuan
Keabadian seorang filsuf
Jika aku mati
Biarlah aku sudah menemukan
Belahan-belahan akalku yang hancur berantakan
Serpihan-serpihan atmaku yang berserak acak
Bagian-bagian tubuhku yang dirampas orang
Potongan-potongan hatiku yang terhilang
Maka, kalau memang aku
Terbakar di atas bara api
Tersembelih penjagal manusia
Tenggelam digulung gelombang laut
Tersalib seperti juruselamat
Aku siap
Jika aku mati
Depok, 30 April 2001-00.45 WIB
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Puisi ini akhirnya saya tampilkan karena memang rasanya seperti permintaan saya di dalamnya sudah dikabulkan semua. Lebih tepatnya barangkali adalah ungkapan ini: Saya puas hidup, jadi tidak didominasi oleh keinginan apa pun. Dalam bahasa lain, "The LORD is my shepherd I shall not want." SHALL NOT WANT. Itu dia.
ReplyDeleteAda dua baris yang ingin saya berikan catatan di sini.
Pertama adalah mengenai 'Pemberontakan seorang anak'. Saya belajar bahwa kalau saya tidak pernah 'memberontak' dari Ayah dan Ibu saya dan belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri, memiliki pikiran sendiri, hidup sendiri, jalan sendiri, maka saya belum utuh menjadi manusia.
Yang kedua adalah mengenai 'Kebahagiaan seorang perempuan'. Rasanya dulu sangat sulit buat saya untuk bisa bebas menjadi seorang perempuan di negara Indonesia ini karena terlalu banyak aturannya: Harus bersih, manis, rapi, anggun, bisa masak, dst. Sekarang saya bahagia menjadi diri saya dan itu jauh lebih penting daripada menjadi perempuan atau tidak.
Roh di dalam saya netral, bukan 'laki-laki' atau 'perempuan'. Keperempuanan yang diterima umum dipatok oleh orang-orang di luar diri saya, sedangkan diri saya yang sejati ditentukan oleh Pencipta saya. Tentu saja saya pilih untuk mendengar suara yang menciptakan saya...gitu aja kok repot..hehe...